Jakarta –
Survei nasional Jepang Ke 2022 menemukan 40,3 persen Di 20.000 responden merasa kesepian setidaknya satu kali Untuk setahun, angka tersebut Meresahkan 3,9 persen Di 2021, Pada regulasi menjaga jarak sosial akibat Penyebara Nmassal COVID-19 Jepang berlaku.
Meski Gaya kesepian nampak bukan menjadi masalah Mutakhir Ke Jepang, pemerintah khawatir angkanya terus Meresahkan terutama Ke kalangan usia muda. Hasil survei mencatat mereka yang berusia 20 hingga 30 tahun Merasakan tingkat kesepian paling tinggi.
Bentuk kesepian paling ekstrem Ke Jepang dinamakan hikikomori atau mereka yang memutuskan mengurung diri Ke Rumah. Hal ini dialami Kyoko Hayashi, Life Style hikikomori Malahan sudah dimulainya Sebelum berusia 16 tahun, ia mengaku hal ini berkaitan Di tekanan semasa sekolah yang pernah dikenai hukuman fisik.
“Mengapa mereka menggunakan Tindak Kekerasan Sebagai menekan anak-anak Ke sekolah yang seharusnya mendidik mereka?” tanyanya. Ketidakpuasan ini membuatnya mengurung diri Ke Rumah sesekali hingga kini berada Ke usia akhir 30-an.
Tahun lalu, survei kementerian Pembelajaran Menunjukkan hampir 300.000 siswa sekolah dasar dan menengah Ke Jepang menolak Sebagai pergi Hingga sekolah setidaknya Pada 30 hari. Diperkirakan 20 persen Di siswa ini kemungkinan Akansegera menjadi penyendiri jangka panjang, menurut Tamaki Saito, seorang profesor psikiatri sosial dan Kesejajaran mental Ke Universitas Tsukuba.
“Ruang kelas sekolah dasar dan menengah Jepang telah menjadi tempat yang sangat menindas Untuk para siswa,” imbuhnya, seraya Menunjukkan bahwa peraturan ketat tentang warna rambut, panjang rok, dan peraturan Yang Berhubungan Di penampilan lainnya dapat menciptakan lingkungan yang menyesakkan.
Tetapi, isolasi yang dipaksakan sendiri Ke kalangan remaja tidak dapat dikaitkan semata-mata Di peraturan sekolah yang ketat. Ada Trend Populer nyata isolasi pasca Penyebara Nmassal.
Hal ini diutarakan Hideaki Matsugi, Direktur Kantor Aturan Kesepian dan Isolasi Jepang. Menurutnya, ‘titik kritis’ kesepian terjadi ketika generasi muda lulus sekolah dan memulai kehidupan sendiri.
Kala itu, banyak Ke antaranya yang sulit mempertahankan pertemanan dan Menyambut orang kepercayaan, atau orang terdekat. Misalnya, ketika Misumi, salah satu generasi Z Jepang, kesulitan berbagi rasa frustrasinya atas persaingan yang tidak sehat Untuk industri hiburan, teman-temannya hanya Memberi perhatian sekadarnya. Percakapan Ke Ditengah mereka cepat mereda.
“Mereka tidak bisa bersimpati. Saya diberi tahu bahwa mereka tidak mengerti, atau mereka tidak suka memikirkannya,” keluhnya.
“Entah bagaimana tertanam Untuk pikiran saya bahwa Malahan sebagai teman, tidak peduli seberapa Didekat kami, kami tetaplah orang-orang yang terpisah.”
Sambil Itu salah satu generasi milenial Ke Jepang, Seigo Miyazaki juga merasa teman-temannya tidak Akansegera memahami perjuangannya, Malahan ketika ia mencoba menjelaskan duduk Peristiwa Pidana. Ibunya mengidap Gangguan yang tidak dapat disembuhkan, multiple system atrophy. Lantaran saudara perempuannya kuliah Ke luar kota dan ayahnya sibuk bekerja, ia telah merawat ibunya Sebelum berusia 15 tahun dan menjadi pengasuh utamanya tak lama Setelahnya lulus SMA.
Lantaran tanggung jawabnya sebagai pengasuh, ia menunda Pembelajaran tinggi dan memutus kontak Di teman-teman masa kecil dan pacarnya Pada itu. “Saya merasa malu Sebagai berbicara Di teman-teman saya tentang urusan keluarga saya,” kata pria berusia 34 tahun itu.
Hal ini mencerminkan aspek unik Di Kearifan Lokal Global Jepang, Pada orang-orang dikondisikan Sebagai menyendiri. Individu yang lebih muda khususnya, cenderung menghindari keterlibatan Di orang lain, takut Akansegera kerumitan situasi yang tidak dikenal atau beban Berjuang Di masalah potensial, demikian penjelasan Mitsunori Ishida, seorang profesor sosiologi Universitas Waseda.
“Berbicara Di orang lain atau melakukan sesuatu Di orang lain Disorot sebagai risiko yang sangat besar,” katanya.
Artikel ini disadur –> Detik.com Indonesia Berita News: Makin Banyak Gen Z Jepang Pilih Hikikomori, Menyendiri dan Hidup Kesepian