LBH Pers dan AJI Jakarta Nilai RUU Penyiaran Buat Jurnalisme Indonesia Ke Kegelapan

LBH Pers dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta menilai draf RUU Penyiaran Berencana membawa jurnalisme Indonesia Ke masa kegelapan. Foto/SINDOnews

JAKARTA – Lembaga Pemberian Hukum (LBH) Pers dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta menilai draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran Berencana membawa jurnalisme Indonesia Ke masa kegelapan. Salah satunya yang paling krusial Di RUU tersebut adalah, Standar Isi Siaran (SIS) yang memuat batasan, larangan, dan kewajiban Untuk penyelenggara penyiaran serta kewenangan KPI yang tumpang tindih Di Dewan Pers.

Sebagaimana yang terdapat Ke draf tertanggal 27 Maret 2024, revisi Undang-Undang Penyiaran tersebut secara nyata membatasi kerja-kerja jurnalistik maupun kebebasan berekspresi Ke Umumnya. Negeri Di Situasi Ini pemerintah, kembali berniat Untuk melakukan kendali berlebih (overcontrolling) Di ruang gerak warga negaranya.

Lapisan Kartu Merah itu, menurut LBH Pers dan AJI Jakarta dapat mengkhianati semangat perwujudan Negeri demokratis yang telah terwujud Melewati Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Undang-Undang yang dicita-citakan melindungi kerja-kerja jurnalistik serta menjamin pemenuhan hak publik atas informasi.

Maka Di itu, LBH Pers dan AJI Jakarta memberi catatan kritis Di revisi Undang-Undang Penyiaran sebagai beriku:

Pertama, larangan Di penayangan eksklusif jurnalistik merupakan wujud keengganan pemerintah Di melakukan pembenahan Ke penyelenggaraan Negeri. Alih-alih memanfaatkan produk jurnalistik investigasi eksklusif sebagai sarana check and balances Untuk berlangsungnya kehidupan bernegara, pemerintah justru memilih Untuk menutup kanal informasi tersebut. Hal ini bukan Kejadian Luar Biasa yang mencengangkan mengingat kultur pemerintahan Indonesia yang anti-Komentar, tidak berorientasi Ke perbaikan, dan enggan berpikir.

Kedua, larangan Di penayangan isi siaran dan konten siaran yang menyajikan perilaku lesbian homoseksual biseksual dan transgender merupakan wujud diskriminasi Di kelompok LGBTQ+, yang dapat Lebih mempersempit ruang-ruang berekspresi Agar melanggengkan Kekayaan Budaya Dunia non-inklusif Di kerja-kerja jurnalistik.

Ketiga, pemerintah menggunakan kekuasaannya secara eksesif Melewati pasal-pasal pemberangus Sistem Pemerintahan berdalih perlindungan Di penghinaan dan pencemaran nama baik yang Lebih dilegitimasi Melewati RUU Penyiaran. Alih-alih mempersempit ruang kriminalisasi Untuk jurnalis maupun Kelompok Ke umumnya, eksistensi pasal elastis ini justru Lebih diperluas penggunaannya.

Keempat, pemerintah Melakukanlangkah-Langkah mereduksi independensi Dewan Pers dan fungsi Undang-Undang Pers. Pasal 8A huruf q juncto 42 ayat (1) dan (2) Ke draf revisi Undang-Undang Penyiaran menimbulkan tumpang tindih Di kewenangan KPI Di kewenangan Dewan Pers.

Pasal tersebut juga menghapus Kode Etik Jurnalistik dan Undang-Undang Pers sebagai rujukan Di menilai siaran-siaran produk jurnalistik, mengalihkan penilaian menggunakan P3 dan SIS. Hal ini dapat menimbulkan ketidakpastian hukum Ke mekanisme penyelesaian sengketa pers.

Artikel ini disadur –> Sindonews Indonesia News: LBH Pers dan AJI Jakarta Nilai RUU Penyiaran Buat Jurnalisme Indonesia Ke Kegelapan